ITB Ultra Marathon 2022 yang Pakai Tapi

ITB Ultra Marathon (ITB UM) 2022 akhirnya berlangsung juga 10 – 12 Maret 2023 lalu, setelah sempat diundur menyusul gempa Cianjur. Makanya namanya masih ITB UM 2022, meski baru terlaksana di 2023. ITB UM memang perhelatan unik yang banyak dinanti alumni ITB. Malahan pelari profesional dari kategori umum juga banyak yang mengincar event tahunan ini.

Banyak agenda dalam satu acara, begitu pengamatan saya pada ITB UM selama ini. Ada yang memanfaatkannya untuk reuni, ada yang benar-benar menyiapkan diri dan tim untuk meraih podium, ada yang sekedar ikut aura kehebohan ITB UM. Para pelari seru-seruan menaklukkan rute melelahkan dari Jakarta ke Bandung secara bergantian, malah ada juga yang berjuang sendiri. Sungguh hebat kapasitas fisik peserta yang berani menyambut tantangan ITB UM.

Sejauh ini, ITB UM berhasil jadi wadah kohesi sosial alumni ITB. Susah loh mengumpulkan teman-teman alumni yang lama tak bersua. Kalaupun bisa, umumnya lu lagi-lu lagi. ITB UM bisa menjadi magnet untuk memanggil kembali teman-teman lama dengan cara yang unik, yaitu “menyiksa diri” dengan berlari. Persiapan menuju ITB UM membuat pertemuan dengan teman lama semakin punya bumbu. Saya sungguh menaruh appresiasi atas ITB UM yang telah berhasil jadi wadah bersilaturahim, menyediakan ruang euforia, dan sarana seru dalam satu event race.

Saya melihat banyak sekali perkembangan dan perbaikan signifikan di ITB UM 2022 dibandingkan ITB UM 2019 dengan rute yang sama, yaitu Jakarta-Bandung. Sistem pencatatan bekerja baik, jauh lebih baik dari sebelumnya. Yang paling terasa adalah garis finish dan segala kesiapannya sungguh perkembangan yang menggembirakan.

Maka, pantas sudah kita menyematkan kalung ucapan selamat bagi penyelenggara yang telah berhasil melaksanakan ITB UM 2022 kali ini dengan perbaikan yang signifikan. Lebih dari 3.000 pelari dengan segala keseruannya ikut serta. Banyak yang sudah tak sabar menanti kapan ITB UM berikutnya akan digelar, padahal puncak acara ITB UM 2022 belum genap seminggu berlalu. Capek tapi bikin nagih.

Hanya saja saya harus menyematkan “TAPI” untuk ITB UM ini.

“Hm… kenapa harus pakai tapi sih?”

“Bisa tidak cukup kasih apresiasi saja tanpa kata tapi?”

Bisa saja dan itu mudah. Tapi jangan lupa, mendukung tak harus mendorong dari belakang atau memberi sorak-sorai gembira dari pinggir lapangan. Memberitahu ada lubang di depan agar tak celaka juga bagian dari mendukung. Jadi, tolong kata TAPI di tulisan ini dimaknai bagian dari yang terakhir itu.

Mari kita elaborasi “TAPI” saya untuk ITB UM.

Saya pernah ikut ITB UM 2019. Berlari untuk dua tim sehingga punya waktu lebih dari seharian untuk mengamati apa yang terjadi. Saat itu saya berpikir event ini sesungguhnya sangat berisiko. Saat itu, saya melihat ada pelari yang pingsan kelelahan. Saya juga melihat ada tim support yang terkapar di warung pinggir jalan karena over work mengawal dari Jakarta sampai Bandung lebih dari 24 jam. Saat berlari, saya melihat sendiri ada pula pelari yang jatuh dari bahu jalan dan terkilir karena saat asyik berlari ia mendapat kejutan klakson dari truk yang melintas dengan kecepatan tinggi. Ditambah lagi ada info beredar tentang pelari yang diserempet kendaraan hingga terluka.

Pengalaman itu segera terlupakan selepas ITB UM 2019 tuntas. Secara keseluruhan, acara ITB UM saat itu berlangsung baik.

Nah…, di ITB UM 2022 saya kebagian tugas untuk merencanakan dan mengordinasikan tim support angkatan (ITB 2K runners – Duracel). Duracel mengutus 6 tim dengan total 80 pelari. Saya “membongkar” kembali ingatan dari pengalaman ITB UM 2019 untuk menyelesaikan amanah tersebut. Mereka-reka ulang apa saja yang harus disiapkan agar para pelari berhasil menyelesaikan misinya.

Dari pengalaman tersebut kami mendaftar semua kemungkinan risiko yang bisa terjadi. Saya tertegun dengan daftar tersebut. Profil risiko yang mungkin muncul mulai dari rendah hingga tinggi. Bahkan, saya bisa bilang ITB UM adalah event berbahaya karena mengandung beberapa risiko tinggi.

Loh kok bisa gegabah begitu memberi label? ITB UM kan sudah dirancang sebagaimana event ultra marathon pada umumnya. Apa yang salah dengan itu?

Saya bisa sepakat bahwa ITB UM telah dirancang sebagaimana manajemen ultra marathon yang ada, yang rata-rata adalah self support. Kalau event hanya 5 km, boleh lah panitia menyediakan berbagai sarana pendukung. Untuk 180 km? Sebesar apa sumber daya yang harus disiapkan? Sepakat sampai di sini.

Tapi, saya tidak bisa sepakat begitu saja karena target pasar ITB UM bukanlah pelari-pelari yang biasa berlari ultra. Mayoritas segmen pasar ITB UM adalah alumni ITB dengan spektrum yang sangat luas. Ada sih yang memang pelari profesional dan terbiasa berlari ultra. Tapi…, kebanyakan kan justru alumni yang memanfaatkan keseruan acara saja. Ada yang belum pernah berlari hingga 10 km sampai yang sudah pernah berlari ratusan kilometer. Ada yang masih baru lulus hingga pelari yang merupakan kakek/nenek pelari yang baru lulus tadi. Dengan situasi segmen pelari seperti itu, ITB UM menurut saya terlalu gegabah disamakan dengan event ultra pada umumnya.

Berlari di lalu lintas terbuka dengan segala dinamikanya, di jam-jam yang tak lazim bagi pelari kebanyakan, dan penyelenggara melepaskan tanggung jawab support & kemanan kepada tim masing-masing. Ditambah ada profil risiko kategori tinggi tadi. Itu sebabnya menurut hemat saya, event ini berisiko tinggi sekali. Pengalaman beberapa kali ITB UM sebelumnya yang berlangsung cukup lancar tidak bisa jadi pembenaran ITB UM akan aman-aman saja. Terbukti, di ITB UM 2022 sebagian besar risiko yang pernah kami profil tadi benaran terjadi. Saya tak perlu sebutkan di sini apa saja yang terjadi. Teman-teman yang mengikuti perhelatan ITB UM 2022 sedikit banyak sudah mendengar atau malah melihat apa saja kejadian yang membuat kita harus berucap prihatin.

Saat merancang strategi support 6 tim Duracel, kami menjadikan pengalaman support di ITB UM 2019 dan profil risiko baru disusun tersebut sebagai dasar. Saya sempat merasa “ngeri” dengan kemungkinan yang bisa menimpa anggota tim pelari kami. Dengan sumber daya yang terbatas, saya harus mengubah strategi support dan memprioritaskan keamanan/keselamatan daripada kenyamanan pelari. Kemudian, kami memberlakukan SOP ketat untuk semua pelari, harus begini-begitu, tidak boleh ini-itu. Lebih ribet dari sebelumnya, tapi semuanya untuk mengelola risiko yang mungkin terjadi.

Kami beruntung mendapat tim support yang mudah beradaptasi dengan strategi dan koordinasi lapangan yang tok-cer. Keberuntungan berikutnya adalah, seluruh tim berhasil finish dengan hanya terkena risiko-risiko kategori rendah seperti kram, kepanasan, dan kehujanan. Cingcai-lah kalau cuma itu saja.

Dulu sekali, sewaktu mahasiswa saya pernah melaporkan sebuah kegiatan kepada guru besar yang saat ini aktif sebagai anggota senat akademik ITB. Selesai melaporkan, saya langsung terkena damprat karena menurut penilaian beliau kegiatan itu punya risiko yaitu sampai membuat peserta cedera.

“Kamu pernah berpikir tidak, kalau ada peserta yang cedera, maka nama institusi akan terbawa. Yang repot semua orang, bukan hanya panitia!,” sang guru besar terlihat sedikit murka. Padahal acara berlangsung baik dan lancar, harusnya beliau bahagia tak perlu khawatir lagi.

ITB UM memang bukan event yang dipelopori dan dilaksanakan resmi oleh ITB sebagai institusi pendidikan. ITB hanya mengizinkan penyelenggara menggunakan nama tersebut. Tapi dengan melekatnya nama ITB di dalam kegiatan ITB UM, semua alumni mudah jatuh cinta. Lantas, nama ITB begitu melekat pada event ITB UM dan dengan profil risiko begitu tinggi, tidak kah ITB terganggu dengan kekhawatiran yang sama? Atau jangan-jangan selama ini, ITB UM dipandang sebagai kegiatan tak punya risiko tinggi? Tidak kah pelari yang dibegal dan dilukai di rute lari salah satu bentuk risiko tinggi? Kebanyakan nanya nih, maaf saya jadi menyebalkan.

Saya jadi berandai-andai, jika diberi kuasa untuk mengumpulkan penyelenggara dengan guru besar ITB tadi dalam satu ruangan. Saya akan berujar kepada beliau, “harap berkenan Prof., wejangan yang dulu mohon diulang kembali. Waktu dan tempat dipersilakan….”[]

Persoalan Bangun Pagi

MARCUS AURELIUS adalah salah satu kaisar besar Romawi yang “terpaksa” menjadi kaisar di usia remajanya. Ia jatuh cinta pada buku, tapi sejak muda belia ia harus menanggung tanggung jawab besar. 

Ia asyik masyuk dengan kumpulan bukunya hingga larut malam dan selalu tidur telat. Akibatnya, Marcus punya kesulitan bangun pagi. Marcus biasanya baru bangun ketika matahari sudah sedemikian terangnya. Agenda di istana terpaksa digeser ke siang hari karena sang kaisar tak bisa hadir kalau dijadwalkan pagi hari.

Marcus sebenarnya ingin sekali bisa bangun pagi, seperti kebanyakan orang. Tapi baginya, kebiasaan bangun siang sulit betul ia terabas. O ya, Marcus juga punya banyak persoalan hidup. Mungkin karena usianya yang masih belia dan mendapat tanggung jawab yang begitu besar, akhirnya Marcus menjadi pribadi yang merasa banyak kekurangan dalam dirinya.

Sadar akan begitu banyak kekurangan, Marcus pun membuat catatan khusus sebagai pengingat diri. Ia dibantu oleh ajudannya untuk membuat catatan pengingat supaya Marcus bisa memperbaiki dirinya dari hari ke hari, berdasarkan perenungannya. Mungkin ini semacam diari sekaligus notifikasi. 

Catatan harian Marcus ini kelak dijadikan buku berjudul “Meditation”, yang sedari awal bukan untuk dipublikasikan. Melainkan catatan pengingat dirinya sendiri. Buku ini masih dibaca banyak orang hingga saat ini. Sebuah buku kontemplatif yang sarat makna.

Dari sekian banyak topik yang ada dalam buku ini, salah satu topik terkesan remeh tapi penuh hikmah adalah tentang sulitnya Marcus bangun pagi tadi. Banyak pengulas yang memberi istilah topik ini “The Great Bed Question.”

Menarik cara Marcus memahami problem sederhana sulit bangun pagi. Bagi yang biasa bangun pagi, catatan Marcus ini menjadi tak relevan. Tapi bagi yang pernah kesulitan bisa bangun sendiri di pagi hari, apa yang Marcus resahkan akan terasa begitu nyata. Ia tak memberikan pembenaran bahwa seorang kaisar boleh saja bangun siang. Marcus menggali jawaban “kenapa sih harus bangun pagi?”

Dari proses menggali itu, Marcus akhirnya tiba pada satu kesimpulan menarik. Bangun pagi bukanlah kewajiban, tapi tugas diri. Tugas menjadi manusia, katanya. Marcus membedakan makna kewajiban (obligation) dengan tugas (duty). Kewajiban, katanya adalah tuntutan yang berasal dari luar. Sedangkan tugas berasal dari dirimu sendiri, sebagai seorang manusia. Bila ada orang yang merasa tidak punya tugas sebagai manusia, maka ia bukanlah manusia yang sesungguhnya. 

Jadi kata Marcus, seseorang akan merasa bahagia bila memasukkan to do list hariannya dalam kategori tugas karena energi untuk menuntaskannya berasal dari diri sendiri. Sedangkan bila masuk dalam kategori kewajiban, sisi kemanusiaannya akan tercerabut.

Apakah Marcus akhirnya berhasil bisa bangun pagi? Mungkin ada jawaban di bukunya itu.

Rute Berbahaya Rasa Kecewa

KECEWA sudah jadi bagian yang selalu muncul dalam perjalanan hidup kita. Bukan sekali saja, kecewa itu terus datang silih berganti. Kadarnya juga beragam. Mulai dari kecewa biasa saja yang sakitnya berlalu dalam hitungan jam, hingga kecewa berat yang bahkan bisa mengubah kepribadian seseorang.

Rasa kecewa muncul akibat tidak padunya antara harapan dengan kenyataan. Atau, bisa juga antara apa yang kita bayangkan beda jauh dengan yang sesungguhnya terjadi. Umumnya kecewa menyasar objek tertentu. Ada yang kecewa pada pasangan hidup karena tak ia lagi seperti dulu, kecewa dengan lingkungan kerja yang tidak suportif, kecewa pada teman yang sudah dibantu malah berkhianat, malahan ada yang kecewa pada Tuhan karena merasa hidup ini tidak adil baginya. Serta ribuan rentetan kecewa yang bisa kita daftarkan.

Perkembangan diri seorang manusia berbanding lurus dengan kemampuannya menghadapi rasa kecewa. Untuk satu peristiwa yang sama, dua orang bisa merasakan dampak yang berbeda. Boleh jadi karena perbedaan dalam menangani kecewa itu, bisa juga karena ia sudah lebih mampu mengelola diri sehingga begitu kecewa ia tak lagi merasakan efek yang berlebihan.

Namun, kecewa bisa memiliki rute yang berbahaya. Mungkin kita sepele dengan kecewa hanya karena hingga saat ini kita masih mampu melewati kecewa dengan baik. Namun, tetap saja ada kemungkinan kita akan bertemu dengan kecewa yang begitu dahsyat kadarnya. Saat itu terjadi, bisa saja kita malah menempuh rute berbahaya rasa kecewa. Atau, perhatikan orang-orang yang “dulu kita kenal” sekarang berubah drastis, biasanya perubahan itu diawali karena ia menempuh rute bahaya rasa kecewa.

Saat berhadapan dengan kecewa, reaksi pertama kita adalah merasa sedih. Kenapa ini bisa terjadi? Kok ia tega melakukan itu? Apa guna usaha yang saya lakukan selama ini? Saya sudah berbuat tetapi sama sekali tidak dianggap. Dan seterusnya, dan seterusnya. Gap harapan dan kenyataan ini membuat kita sedih. Sesuai kadar kecewanya, ada yang mudah mengatasi kesedihan tersebut ada pula yang butuh waktu lama untuk berdamai dengannya. Inilah rute pertama kecewa yang masih wajar dan memang harus dilalui oleh setiap orang yang sedang kecewa. Apabila ada orang yang mengaku kecewa tetapi tidak merasa sedih, berarti belum sahih kecewa itu menerpa dirinya.

Rute kedua kecewa adalah marah. Hati tak mampu lagi menampung rasa sedih sehingga tumpahannya harus disalurkan dalam bentuk rasa marah. Rute kedua ini bisa dibilang jenis jalan semi berbahaya, walaupun kadar merusaknya jelas lebih besar dari rute pertama tadi. Ada marah akibat kecewa yang daya rusaknya sedikit saja. Tapi bisa juga marah punya dampak negatif berganda. Misalnya, marah kita itu ternyata disambut lagi dengan marah orang lain yang berujung saling merusak satu sama lain.

Untuk rute kedua ini, saya pernah melihat seorang teman yang begitu kecewa karena kekasih pujaan hatinya meminta untuk memutuskan hubungan. Lalu sehari kemudian si pujaan hati malah menjalin hubungan istimewa dengan sahabat baiknya. Rasa sedihnya tak terbendung lagi dan marah pun melingkupi dirinya. Maka, ia temui sahabatnya yang kini jadi kekasih sang mantan. Emosi marah ia luapkan dan kata-kata kasar ia luncurkan. Ia hendak menuntaskan kecewa itu dengan marah tapi ternyata marahnya disambut juga. Akibatnya, si kawan ini berakhir di kamar mayat karena marah bersambut marah sehingga berujung saling menghabisi nyawa.

Jika marah pun belum sanggup meredam kecewa, kita bisa beranjak ke rute ketiga yaitu memberontak. Rute ketiga ini bisa juga ditempuh tanpa melewati rute kedua (marah). Begitu kecewa, rasa sedih datang lalu ia memutuskan untuk memberontak. Rute memberontak ini adalah perlawanan yang dilakukan untuk membalaskan kecewa. Ada dendam di sana yang harus disalurkan dalam bentuk merusak.

Ada beberapa contoh implementasi kecewa di rute ketiga yang pernah saya saksikan.

Di sebuah pabrik sepatu brand terkenal pernah terjadi kekecewan massal terhadap manajemennya. Mereka merasa tak didengar. Sudah demo beberapa kali, tetap saja jajaran manajemen seolah tutup telinga. Mereka merasa tak ubahnya mesin yang tak boleh protes. Sedih sudah pasti, marah sudah disalurkan. Karena juga tak menutup kecewa yang semakin hari semakin membesar, mereka bersepakat untuk menghancurkan perusahaan ini dari dalam. Caranya pada setiap pengiriman sepatu yang ditujukan untuk ekspor, mereka selipkan barang-barang beraroma busuk seperti bangkai kucing, bangkai tikus, atau bahkan kotoran manusia sesaat sebelum produk tersebut disegel. Harapannya, di negara tujuan barang-barang ini akan ditolak dan jika berlangsung berkali-kali akan menurunkan reputasi perusahaan ini. Benar saja, beberapa tahun berselang perusahaan itu gulung tikar karena terlalu banyak menghadapi komplain. Mereka menghancurkan sendiri tempatnya bernaung mencari rezeki. Semua berawal dari kecewa yang tak kunjung reda dan disalurkan dengan menempuh rute ketiga.

Contoh lain, setelah menjalani bahtera rumah tangga belasan tahun, seorang suami menduga istrinya tak lagi setia seperti dulu. Rumah tangganya serasa hambar dan saling curiga. Ia kecewa karena rumah tangga yang ia idamkan harmonis ternyata menjadi rumah yang bikin malas pulang. Ia tak paham lagi bagaimana meredam kecewa karena sedih dan marah telah jadi menu harian. Maka, ia memutuskan menempuh rute ketiga dengan membalaskan praduga tadi. Dari pada tersiksa dengan kondisi yang ada, ia pun menjalin hubungan gelap dengan beberapa wanita. Jadi play boy di usia yang sudah tidak “boy” lagi. Pemberontakan dengan cara “main api” ini berujung pada kerusakan yang jauh lebih berbahaya. Bercerai, anak-anak broken home, kondisi keuangan jatuh drastis, perzinahan jadi ia anggap tak dosa lagi, dan seterusnya. Semua akibat ia menempuh rute ketiga rasa kecewa.

Berbahaya bukan di rute ketiga ini?

Nah… ada lagi rute keempat yaitu menggila. Seseorang yang memendam kecewa, apalagi dalam jangka panjang. Sementara itu, marah dan memberontak tak juga menghilangkan penyakit kecewa di hatinya. Satu-satunya jalan yang paling masuk akal baginya adalah menggila. Jika pada rute ketiga (memberontak), ia merusak dan merugikan orang lain. Pada rute ini, ia malah merusak diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Menyakiti diri sendiri, lari ke obat-obatan candu, meraung-raung di media sosial secara membabi-buta, dan banyak bentuk kegilaan lainnya. Rute ini adalah manifestasi kecewa yang paling puncak. Ketika seseorang merasa sudah tidak punya cara lagi untuk meredam kecewanya.

Itulah empat rute berbahaya rasa kecewa, khusunya di rute ketiga (memberontak) dan keempat (menggila). Berbahaya karena dampak lanjutannya jauh lebih merugikan daripada kecewa itu sendiri. Begitu memasuki rute ketiga dan keempat, kecewa itu berubah dari tadinya hanya sekedar sebuah batu sandungan dalam hidup menjadi energi yang terus membakar agar kita terus menerus berada di rute bahaya. Lihatlah mereka yang ada di rute ketiga dan keempat, kecewa yang terpendam akan menjadi daftar pertama alasan kenapa ia melakukan itu semua.

Lantas apa yang harus dilakukan? Mengutip Justin Arocho, Ph.D, dari Manhattan Center for Cognitive-Behavioral Therapy di New York, setidaknya ada dua strategi yang dapat kita latih untuk menangani kecewa.

Pertama adalah mengelola kecewa sejak awal. Berhubung kecewa adalah bentuk ketidaksinkronan harapan dengan kenyataan, maka sejak awal yang dikelola adalah harapan atau ekspektasi ini. Harapan memang energi untuk membuat kita optimis menjalani hidup. Tetapi espektasi yang statis akan meningkatkan peluang berbuah kecewa. Jadi, pada saat memiliki sebuah harapan selalu siapkan kemungkinan terburuk dan apa yang akan kita lakukan jika itu yang terjadi. Saat semuanya belum menjadi kenyataan, kita masih bisa berpikir dengan lebih jernih. Berbeda jika sudah terjadi, gap antara kenyataan dan harapan yang statis tadi lebih sulit untuk diselaraskan.

Kedua, berlatih untuk menyambut kecewa. Kita harus mengenali mekanisme koping (coping mechanism) yang sesuai untuk diri kita. Mekanisme koping adalah cara seseorang menghadapi situasi berat yang berpotensi menimbulkan luka batin. Menurut Justin, dalam menghadapi kecewa, mekanisme koping merupakan proses penyembuhan oleh diri sendiri agar tidak terjebak dalam lingkaran kecewa. Benar bahwa kecewa itu berat, tetapi kita harus mampu tetap ada di rute pertama tadi (rasa sedih) dan selesai di situ. Jangan beranjak ke rute-rute berikutnya.

Kecewa boleh saja menghampiri, tapi kini kita harus lebih siap menghadapinya. Bukan begitu? []

Kredit foto: Maksym Kaharlytskyi on Unsplash

Mementingkan yang Bukan Prioritas

ADA sebuah kejadian menarik saat saya mengisi sebuah workshop beberapa tahun lalu, kalau tidak salah ingat peristiwa ini terjadi di pertengahan tahun 2013. Kegiatan tersebut dikemas dalam bentuk inhouse training karena pesertanya berasal dari satu institusi yang sama.

Di sesi terakhir hari pertama, salah seorang peserta bertanya mengenai laptop yang saya gunakan. Di masa itu pengguna macbook belum sebanyak sekarang. Beberapa tahun sebelumnya saya sudah pindah dari pengguna sistem operasi windows ke machintos. Kesan macbook sebagai barang mewah saat itu memang masih terasa. Tapi bukan itu alasan saya pindah mahzab komputer. Faktor pendorong utama saya menggunakan macbook adalah karena merasa risih berurusan dengan virus komputer yang selalu saja datang. Pilihan untuk menghindari berurusan panjang dengan virus-virus ini sebenarnya bisa pakai sistem operasi linux, tapi macbook punya keunggulan lain yang cocok untuk saya gunakan. Sesederhana itu saja.

Tetapi kesimpulan yang muncul di benak peserta workshop di hari pertama tersebut ternyata berbeda. Menurut mereka pakai macbook terlihat lebih keren dan elegan. Mereka juga merasa bahwa pelajaran yang saya bawakan di training tersebut berkat menggunakan macbook. Entah bagaimana kesimpulan itu bisa muncul, tapi kelak saya akhirnya bisa paham dan akan kita bahas di tulisan ini. Sabar…

Begitu kelas usai, sore ke malam hampir seluruh peserta di ruangan workshop tersebut janjian jalan-jalan di salah satu mall besar di Kota Jakarta. Saya juga diajak tetapi secara halus saya menolak dengan alasan ada persiapan yang harus saya tuntaskan untuk kegiatan besok. Alasan sesungguhnya saya ingin istirahat lebih sambil me-recharge tenaga dan fikiran.

Ternyata malam itu mereka serentak membeli laptop macbook generasi terbaru di masa itu. Di sesi pertama pagi harinya, mereka membawa laptop macbook anyar lengkap dengan kardus-kardusnya ke ruangan workshop. Maka, sehari penuh kami mengorupsi agenda dari belajar menjadi tutorial menggunakan macbook.

Apakah asumsi awal bahwa pakai macbook akan membuat mereka menguasai materi dengan baik? Sama sekali tidak. Tapi untuk bergaya karena punya macbook, mungkin bisa mereka peroleh sebab saat itu pengguna macbook belum seramai sekarang.

Dalam perjalan berikutnya, saya bertemu kembali dengan fenomena ini. Saya menyebutnya sebagai fenomena kesimpulan semu yakni menyimpulkan bahwa faktor utama keberhasilan sesuatu adalah pada hal yang kasat mata. Orang ramai-ramai membeli sepatu Nike Air Jordan karena Michael Jordan pakai sepatu Nike misalnya. Ketika membeli sepatu mahal tersebut, yang ada dalam benak jutaan penggemar Jordan adalah ia berhasil karena pakai sepatu tersebut. Padahal akal sehat kita bilang tentu bukan seperti itu bukan?

Saya mau lanjutkan cerita fenomena yang saya alami sendiri selain perihal belanja macbook ramai-ramai oleh peserta workshop di atas.

Saya pernah mengerjakan sebuah proyek fotografi dengan bekal seluruh peralatan foto saya sewa dari tempat penyewaan. Mulai dari kamera, lensa, lighting, dan berbagai pernak-pernik gear lainnya saya sewa karena peralatan yang kantor saya punya belum memadai untuk pekerjaan fotografi profesional. Saat memesan daftar peralatan yang dibawa, prinsipnya adalah gear terbaik yang sedang available di tempat penyewaan. Saya tidak bisa memundurkan jadwal pemotretan karena kamera yang saya incar ternyata sedang dipakai oleh penyewa lain. Maka saya harus mengalah dengan peralatan yang tersedia saja.

Singkat ceritanya, setelah beberapa hari menjalankan proyek di lapangan, salah seorang pendamping dari perusahaan tempat kami melakukan proyek tersebut mencatat secara detail daftar alat yang kami bawa. Awalnya saya kira itu hanya prosedur standar yang harus ia lakukan sebagai pendamping. Tapi di sesi istirahat ia mengutarakan akan membeli peralatan yang sama dengan gear yang sedang saya bawa karena ia juga punya hobi fotografi. Baginya, faktor utama foto-foto yang kami hasilkan di beberapa hari tersebut karena masalah gear. Setiap diskusi yang ia tanyakan melulu soal gear. Padahal saya yang mengoperasikan kamera sama sekali tidak ambil pusing dengan gear yang dibawa. Sepanjang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki kinerja minimal yang saya harapkan, apapun merk & jenisnya tak jadi soal. Itu teknis saja. Sama seperti keahlian lain, dalam fotografi yang paling utama adalah penguasaan konsep dan teori serta jam terbang. Gear memang penting, tapi bukan itu prioritas utamanya. Setelah proyek selesai, pendamping sesi pemotretan tersebut pun akhirnya membeli alat yang kurang lebih sama dengan yang kami bawa. Saya tidak banyak komentar atas keputusannya itu, toh ia belanja dengan dananya sendiri. Tapi keputusannya untuk menyamakan merk dan jenis peralatan itu sesungguhnya sebuah kesimpulan semu.

Pernah juga saya punya teman yang memiliki keputusan untuk membeli semua produk yang bintang iklannya adalah Krisdayanti. Baginya Krisdayanti adalah penyanyi paling ia kagumi dan ketika itu Krisdayanti memang menjadi salah satu bintang iklan paling laris. Mulai dari sabun, shampo, setrika, dispenser, penanak nasi, dan banyak lagi. Saat saya tanya kenapa membeli setrika merk “A” misalnya, kok bukannya merk “B”? Alasannya sederhana, karena merk “A” bintang iklannya Krisdayanti.

Selain fotografi yang banyak menggunakan peralatan mahal, saya juga punya hobi dengan olah raga lari dan bersepeda. Dalam grup pehobi lari misalnya, saya menjumpai fenomena yang sama muncul kembali. Jika ada yang larinya cepat, ramai-ramai pada penasaran ia pakai sepatu merk apa, celana apa, dan kaus kaki apa. Lantas ramai-ramai membeli merk yang sama dengan bayangan yang juga sama bahwa si kawan tadi berlari cepat karena barang yang ia pakai. Semuanya seolah lupa bahwa kekuatannya berlari cepat sama sekali bukan karena sepatu tertentu. Sepatu memang penting, tapi bukan itu prioritasnya.

Ternyata, mengambil keputusan berdasarkan jangkar lahiriah nan semu ini secara sudah menjadi tabiat manusia. Aspek psikologis ini dimanfaatkan betul dalam dunia marketing. Menggunakan brand ambassador, menyewa jasa endorsement, dan meminta review produk oleh pengguna berpengaruh adalah bentuk dari memanfaatkan aspek psikologis pengambilan keputusan ini. Maka tak heran, belanja iklan perusahaan-perusahaan besar banyak yang dialihkan dari iklan konvensional ke jenis iklan yang menggunakan metode memanfaatkan aspek psikologis mengambil keputusan semu manusia tadi

Alih-alih mencari jawab atas faktor utama untuk berhasil, kita lebih memilih untuk meyakinkan diri bahwa produk yang dipakai adalah faktor determinan sebuah keberhasilan. Inilah fenomena kesimpulan semu yang saya bilang tadi. Setelah saya evaluasi diri, ternyata di beberapa keputusan membeli saya di masa lalu juga didasari oleh fenomena kesimpulan semu ini. Dan…, setelah ditimbang-timbang ulang hampir semua keputusan membeli dengan dasar kesimpulan semu tadi berujung menyesal. Ternyata tidak seindah asumsi awal sebelum membeli.

Kredit foto: Alexander Milo on Unsplash

Orang Belakang Layar

SAYA sama sekali tidak alergi tampil di depan publik. Tidak merasakan juga ada kendala berarti jika harus berbicara. Tapi saya merasa jauh lebih bahagia jika berada di belakang layar. Tampil dan terkenal sepertinya bukan sesuatu yang menarik buat saya. Saya justru lebih senang orang lain muncul di panggung tapi saya ada di belakang layarnya. Buat sebagian orang, pilihan ini mungkin aneh. Tapi setiap orang boleh punya preferensi sendiri-sendiri bukan? Ternyata saya lebih prefer berada di belakang panggung.

Saya ingat pengalaman pertama berbicara di hadapan orang banyak ketika menjadi Ketua OSIS di bangku SMP. Didaulat memberikan sambutan membuat saya gemetaran. Saya menulis isi pidato yang akan saya bacakan sampai keringat menetes di dahi. Jika menulis saja sudah membuat saya berkeringat, apatah lagi saat nanti menyampaikannya? Beberapa saat menjelang tampil ke podium, saya dilanda demam panggung. Berkali-kali ke toilet untuk buang air kecil yang tidak mau diajak kompromi.

Begitu naik ke atas panggung, saya praktikkan sebuah tips pidato yang pernah saya baca di sebuah majalah: “sapulah semua audiens dengan tatapan lembut dan meyakinkan”. Ternyata tips itu jitu bak mantra ampuh sakti mandra guna. Saya merasa lebih menguasai keadaan dan bicara lancar hingga selesai. Sampai-sampai saya lupa punya naskah yang harus dibacakan. Naskah itu masih terlipat kucel di saku celana.

Sejak saat itu saya merasa bahwa bicara di depan publik bukanlah perkara sulit. Sampai kini, pengalaman pertama public speaking di masa SMP itu membekas kuat sehingga saya merasa tak terbebani jika harus tampil di depan publik. Tentu untuk urusan bicara. Jangan diminta untuk menyanyi atau bersandiwara drama. Saya sudah mencoba keduanya dan tingkat gagalnya sama-sama parah.

Setelah menimbang-menimbang diri, ternyata saya sangat menikmati proses berpikir dan berencana. Menyisir seluruh detail sebelum beraksi. Saya pernah membuat naskah drama, tapi tidak pernah memainkan drama dengan baik. Saya pernah menyusun detail rangkaian konser tapi tidak pernah menjadi aktor utama panggung konsernya. Dan, proses perencanaan itu ternyata jauh lebih saya nikmati dibandingkan naik ke panggung menuntaskan aksi.

Saya juga pernah membuat naskah pidato yang dibacakan orang lain. Seperti tadi yang sudah saya ungkapkan, bicara di depan publik sama sekali tak masalah tapi buat saya menyiapkan naskah itu lebih mengena rasanya. Pernah juga membuat naskah pidato seorang menteri. Selepas ia menyampaikan sambutan yang saya tulis itu, hadirin memberikan tepuk tangan meriah dan banyak dikutip oleh media massa. Sang menteri jelas bahagia, tapi saya jauh lebih bahagia berada di belakang layar.

Tapi pernah ada yang protes saat saya sampaikan bahwa saya orang belakang layar. Saya tak begitu suka tampil di panggung. Ternyata hal ini dianggap menyindir. Mereka menangkap bahwa saya tidak suka orang yang suka tampil di panggung. Nah…, tulisan ini untuk mengklarifikasi maksud yang sesungguhnya. Saya memang tidak suka tampil di panggung dan titik sampai di situ. Sebaliknya, saya senang membuat orang tampil di panggung. Begitu…

Tanya yang Menggantung di Awan

PERNAH merasa khawatir akan masa depan? Apa kelak yang akan terjadi. Bagaimana kita akan menjalani hidup nanti? Apakah hal buruk akan menimpa? Serta beribu-ribu tanya lainnya yang terus terngiang-ngiang, seolah ia menggantung di awan dan mencari jodoh jawaban. Tapi hingga sekarang belum ada jawaban untuk pertanyaan yang menggantung itu.

Khawatir dan cemas akan masa depan saya kira hal yang sangat manusiawi. Semua kita pasti pernah merasakannya. Justru aneh jika ada seseorang yang sama sekali acuh akan masa depan. 

Sayangnya, khawatir dan cemas ini sulit sekali menentukan apakah masih dalam konteks yang positif atau sudah negatif untuk kita. 

Memikirkan masa depan yang masih misteri adalah satu kelebihan kita sebagai manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Tak ada hewan yang menaruh perhatian dan berpikir akan masa depan seperti halnya manusia. Hewan-hewan itu hanya bergerak berdasarkan insting dan nalurinya saja. Jika lapar, saatnya mencari makan. Jika haus, berarti harus mendapatkan minum. Saat gejolak birahi datang, mereka harus melepaskannya. Semuanya berlalu karena kondisi telah memenuhi dan insting makhluk hidupnya memberi respon terhadap kondisi tersebut.

Sedang manusia, kita berpikir jauh ke depan. Tidak untuk masa sehari atau dua hari. Kita bahkan sanggup mempertimbangkan hendak menghabiskan pensiun dimana kelak saat usia masih belasan tahun.

Namun, kemampuan untuk memikirkan masa depan itu bisa berubah menjadi gangguan khawatir dan cemas. Bahkan, kadar cemas yang mulai meninggi merupakan gejala seseorang mulai diserang sebuah gangguang yang disebut generalized anxiety disorder (GAD). 

GAD merupakan gangguan batiniah yang membuah kita sulit membedakan kejadian sungguhan dengan kejadian hipotetikal yang masih ada di benak tapi seolah akan benaran terjadi.

Saya jadi ingat peristiwa seorang ibu yang tega membunuh ketiga anak-anaknya yang masih kecil. Kejadian naas itu berlangsung di Kota Bandung dan dilakukan oleh seorang perempuan berpendidikan tinggi dan dari lingkungan keluarga yang religius. Setelah didalami oleh beberapa ahli, terungkap motif sang ibu raja tega itu memutuskan untuk mengakhiri nyawa buah hati yang harusnya ia lindungi itu. Ternyata ia terlalu cemas akan masa depan anak-anaknya.

Ia selalu dihantui oleh pertanyaan yang bersifat kejadian hipotetikal tadi. “Bagaimana kelak nasib anakku?” “Dunia terlalu keras dan kejam untuk mereka yang masih polos ini?” dan banyak pertanyaan kecemasan lain yang menghantui isi kepalanya.

Pertanyaan yang menggantung di awan itu terus menagih jawab. Akhirnya ia menjodohkan pertanyaan itu dengan sebuah aksi nekad, yaitu menghabisi nyawa anaknya agar tak dihantui rasa cemas.

Sebegitu parahnya sebuah kecemasan dapat mempengaruhi keputusan seseorang. Itu sebabnya khawatir dan cemas tak boleh kita anggap enteng. Memang tak boleh menghapus rasa khawatir sama sekali dalam sikap hidup sehari-hari. Tapi kita harus memastikan bahwa rasa khawatir itu masih sehat, tidak membuat batin kita sakit.

Cara mudah mengidentifikasi apakah khawatir dan cemas itu masih dalam kadar yang sehat adalah dengan mengevalusi diri sendiri. Adakah pertanyaan yang selalu hadir seperti menggantung di awan tadi? Misalnya kita khawatir mengenai pendidikan anak-anak kelak yang semakin mahal saja, sanggupkan nanti menyekolahkan mereka? Pertanyaan khawatir seperti itu masih wajar dan sehat jika tak hadir setiap hari. Tapi jika ia hadir setiap hari dan membawa rombongan pertanyaan tambahan lainnya, maka khawatir itu telah membawa kita ke jurang sakit batin.

Rombongan pertanyaan bawaan itu yang saat ini sering disebut orang sebagai over-thinking. Berpikir terlalu berlebihan akan kejadian yang belum tentu terjadi. Malah ada yang berkata bahwa over-thinking adalah seni untuk mendatang masalah yang sebenarnya tidak jadi masalah sama sekali. Merepotkan dan sakit bukan?

Yuk ah, hidup dengan mental yang sehat. Khawatir dan cemas seperlunya saja. Jangan biarkan ia menggantung di awan yang selalu ribut meminta jodoh jawaban.

Photo by Road Trip with Raj on Unsplash

Thanos Ada Benarnya

FILM THE AVENGERS besutan Marvel Studio semakin seru ketika di seri Infinity Wars Thanos muncul. Ia adalah penjahat yang paling sulit dikalahkan oleh para pahlawan super yang bergabung dalam The Avengers. Mereka takluk melawan Thanos sehingga harus bersambung ke film berikutnya. Di film The End Game sebagai kelanjutan Infinity Wars, akhirnya Thanos berhasil dibunuh. Film ini bahkan masih memegang sabuk jawara film paling laris sepanjang sejarah. Pada rilis di akhir 2019, The End Game membukukan penjualan senilai 39 triliun rupiah. Gila bukan?

Penulis skenario film cukup cerdas menghadirkan Thanos sebagai karakter antagonis. Dalam dirinya berkumpul banyak keunggulan yang pada pahlawan super keunggulan itu hanya dimiliki satu karakter saja. Thanos itu seperti gabungan keunggulan Iron Man yang super cerdas, Hulk yang berbadan super kekar, Captain America yang mampu menggaet pengikut, dan Thor si titisan dewa yang juga penjelajah antar galaksi. Bedanya, Thanos adalah penjahat dan The Avangers adalah pembela kebenaran.

Kalau kita simak dialog-dialog Thanos di kedua film tadi dan mencoba sebentar “memakai sepatu” pasukan Thanos, dia ada benarnya loh. Paling tidak, Thanos bukanlah sekadar penjahat pembuat onar. Dia juga pembela kebenaran yang kebetulan berbeda perspektif dengan kebenaran yang diyakini oleh The Avengers dan kita kebanyakan sebagai penonton.

Kebenaran yang dibela oleh para pahlawan super The Avengers, sederhananya bisa digolongkan sebagai kebenaran etika. Kebenaran jenis ini disepakati secara bersama-sama sehingga sangat tepat untuk dibela secara universal.

Nah…, kebenaran yang diyakini oleh Thanos adalah kebenaran logika. Dengan pengetahuan dan kemampuan nalarnya, ia memeluk erat sebuah kebenaran logika yang dapat dinalar secara masuk akal. Sialnya, kebenaran logika Thanos tak ia imbangi dengan pertimbangan nurani. Thanos memiliki putri angkat yang amat ia sayangi bernama Gamora. Tetapi ia lebih memilih mengorbankan Gamora dibandingkan kebenaran logika yang ia yakini. Tapi itulah serunya, sesuatu yang kontras akan membuat cerita semakin menarik.

Coba kita cuplik beberapa dialog Thanos yang menggambarkan bahwa motivasinya mengumpulkan enam batu kuasa (infinity stones) adalah atas dasar kebenaran logika yang ia yakini.

Saat duel dengan Iron Man, Thanos berkata “You’re not the only one cursed with knowledge” – “Kamu bukan satu-satunya yang dikutuk dengan pengetahuan. Ini menjelaskan Thanos adalah makhluk super cerdas.

Kebenaran logika yang Thanos pahami adalah alam semesta ini harus dipulihkan dari ketidak-seimbangan. Thanos–dengan logikanya–yakin penyebab utamanya adalah berlebihnya populasi penghuni alam semesta oleh makhluk cerdas sehingga mereka harus dikurangi jumlahnya. Hal ini ditegaskan juga oleh Joe dan Anthony Russo sutradara film tersebut pada salah satu wawancara. Joe dan Anthony Russo mengatakan Thanos gendeng yakin betul bahwa jika ia berhasil mengumpulkan enam batu kuasa ia akan membawa keseimbangan pada alam semesta. Maka, di film Infinity War salah satu dialog Thanos yang cukup nempel adalah “Perfectly balanced, as all things should be.” — “Keseimbangan yang sempurna, sebagaimana seharusnya.”

Lebih lanjut, kedua sutradara itu menjelaskan bahwa Thanos adalah musuh yang spesial. Dengan kekuatan tubuhnya, ketinggian intelektualnya, kemampuannya berkelahinya, membuat Thanos merasa memiliki kesempatan menjadi the choosen one. Thanos mengidap messianic complex, yaitu orang yang merasa yakin betul dengan apa yang ia pikirkan dan juga merasa didukung oleh semesta.

Ketika menghajar Iron Man habis-habisan di luar angkasa, di akhir pertarungan Thanos berujar “You have my respect, Stark. When I’m done, half of humanity will still be alive. I hope they remember you.” – “Aku sangat menghormatimu, Stark. Saat ini semua selesai, separuh umat manusia akan tetap hidup. Aku berharap mereka mengingatmu (sebagai pahlawan).”

Nah… ini kuncinya, Thanos itu orang baik yang berubah jahat karena benar-benar solid dengan apa yang ia yakini. Kebaikan Thanos setidaknya terlihat bagaimana ia sangat menyayangi kedua putri angkatnya. Namun, kebenaran logika yang Thanos yakin adalah manusia dan makhluk cerdas lainnya aktor utama perusak alam semesta. Dengan populasi yang semakin tinggi, mereka mengeksploitasi alam melebihi kapasitas pulihnya. Maka, Thanos meyakini sebuah kebenaran bahwa manusia harus mengalah demi kelangsungan alam semesta.

Thanos ada benarnya bukan? Motif perjuangannya juga masuk akal dan sangat relevan jika ditarik pada konteks kehidupan kita di bumi sekarang ini. Kerusakan alam yang menjadi-jadi sebagai akibat eksploitasi manusia fix sudah tak terpungkiri. Hanya saja, Thanos terlalu sempit dalam membela kebenaran. Ia mungkin lupa bahwa kebenaran itu banyak jenisnya dan terkadang saling beda satu sama lain.

Jendela Bingung

SAYA PERNAH bertemu beberapa orang yang suka sekali memajukan alasan ia sedang bingung. Sedikit-sedikit bilang bingung. Kepentok sedikit saja masalah langsung mengeluarkan jurus, “saya bingung ini harus bagaimana?, dan seterusnya, dan seterusnya.”

Setiap kita pasti pernah merasakan bingung. Ini adalah keadaan diri yang sangat manusiawi. Penyebab dan kondisi yang membuat kita bingung juga sangatlah beragam. Saat dilanda kebingungan, rasanya serba salah. Mau ambil keputusan takut salah. Mau memulai tapi tak tahu harus apa dulu yang dikerjakan. Ketika terjebak dalam masalah, bingung bagaimana menuntaskannya. Dan berbagai varian kebingungan yang justru seringkali kita temui.

Bingung sesungguhnya reaksi alami sebagai tanda bahwa kita dalam proses belajar. Hanya saja ada tapinya. Jika melewati jendela bingung, maka bingung yang kita alami itu bukan lagi tanda belajar tetapi sudah menjadi tanda lemah. Loh kok bisa?

Yuk kita bahas jendela bingung. Sebenarnya ini istilah yang saya buat-buat sendiri. Tidak ada referensi ilmiahnya sama sekali, hanya berdasarkan pengalaman. Tetapi dari sekian banyak dipraktikkan, menurut ukuran saya jendela bingung ini cukup membantu.

Saat menghadapi masalah baru, belajar hal baru, bertemu kesulitan yang baru, dan berbagai jenis hal asing lainnya. Sementara, kita belum memiliki pemahaman baik dan minim pengalaman. Pada kondisi itu, normal sekali kita bingung. Seperti mengurai benang kusut, tidak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang akan terjadi kemudian.

Kebingungan ini kemudian bisa bermuara pada dua kondisi. Kondisi pertama, kita berusaha untuk mengatasi masalah yang ada supaya tidak bingung lagi. Kondisi kedua, kita membiarkan saja gelombang bingung itu terus beriak-riak. “Toh saya bingung, mau apa lagi?” begitu seterusnya bingung itu dipelihara sehingga kita memang tidak bisa berhasil mengatasi masalah baru.

Nah… supaya tidak masuk ke kondisi kedua tadi, kita harus mengupayakan agar bingung itu tetap dalam koridor yang tepat. Caranya, batasi bahwa bingung itu maksimal hanya tiga hari saja. Selama tiga hari kita punya target mengatasi kebingungan yang ada, atau paling tidak menurunkan level kebingungan. Jika setelah tiga hari masih bingung, kita benar-benar berupaya agar bingung di hari keempat itu jauh lebih sedikit dibandingkan kebingungan di tiga hari sebelumnya. Atau, sebagai exit plan kita bisa bertanya kepada orang lain yang bisa membantu mencarikan solusi atas kebingunan kita.

Itulah yang saya maksud dengan jendela bingung: bingung maksimal tiga hari saja. Dengan begitu, kita punya waktu tiga hari berupaya maksimal untuk mengatasi kebingungan. Kenapa tiga hari? Karena itu batas psikologis bingung yang masih dapat kita toleransi. Setelah itu ia akan berubah bentuk menjadi mental exhausting, kelelahan mental yang akhirnya membuat kita tak sanggup lagi menanggungnya sehingga mending didiamkan saja atau lupakan. Artinya, setelah melewati durasi jendela bingung, kemungkinan besar bingung itu tidak membuat kita maju.

Jadi, saat bertemu orang yang selalu saja melontar alasan sedang bingung, perkenalkan padanya konsep jendela bingung. Supaya bingungnya menjadi pintu masuk pencapaian diri bukan sebagai alasan menghindari tanggung jawab.

Photo by Sasha Freemind on Unsplash (diolah)

Covid Bukanlah Aib

DI AWAL TAHUN 2020, saat pandemi mulai merebak dari Wuhan saya sedang sering-seringnya melakukan perjalanan antar kota. Malahan di akhir tahun 2019 hingga beberapa bulan di awal 2020 sempat terserang flu berat yang cukup parah.

Ketika dalam penerbangan menuju Jakara, di bandara tengah menyeruak kabar kasus covid pertama di Indonesia. Kasus itu ditengarai sebagai klaster dansa di Jakarta. Selepas itu tumbuh kasus-kasus baru dengan berbagai klaster. Namun, karena kasus pertama adalah kasus dansa ternyata di sebagian benak orang yang terkena covid adalah orang yang terlalu gaul dan tidak menjaga dirinya. Memang tidak separah stigma AIDS, tetapi stigma negatif terkena covid tetap ada.

Seorang kenalan bercerita bahwa salah seorang anggota keluarganya dinyatakan positif covid akibat terpapar di lingkungan kantor. Mereka panik luar biasa karena orang tua dan anak-anak yang ada di rumah ikut sakit dengan merasakan gejala menyerupai covid. Hampir seluruh anggota keluarga ini tidak bersedia test meskipun masuk kategori kontak erat. Alasannya sederhana, mereka malu dengan para tetangga kalau nantinya dinyatakan positif covid setelah ikut test swab.

Ada juga cerita teman yang lain, mereka sekeluarga terserang panik dan ketakutan setelah salah seorang anggota keluarganya sakit demam. Begitu ditest, ternyata positif covid. Kepanikan ini akhirnya berujung stres bahkan sangkin stresnya sampai masuk rumah sakit. Beberapa kali ditest swab, hasilnya tetap negatif tetapi tubuhnya lemah dan harus mendapat perawatan lebih lanjut. Ketika ditelusuri apa yang membuatnya stres, apakah takut akan dampak covid atau ada hal lain? Saya tercenung dengan alasan yang teman ini ceritakan, ternyata penyebab stresnya bukan takut akan covid, tetapi takut kalau para tetangga akan panjang lidah menceritakan mereka.

Cerita lain yang umum terjadi. Ada seorang pasien yang sedang sakit berat. Ia berangkat ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Di tengah situasi seperti ini, rumah sakit tentu menerapkan prosedur test swab PCR terlebih dahulu. Eh, hasil testnya belum keluar ternyata sang pasien menemui takdir akhir hidupnya. Maka, demi jaga-jaga rumah sakit menyarankan pemakaman menggunakan prosedur covid. Hasil test belum keluar, tetapi jenazah harus dimakamkan dengan prosedur covid yang ketat. Gegerlah satu kampung, jadi bahan cerita orang-orang yang gosok menggosok cerita bahwa yang baru saja dimakamkan terkena covid. Keluarga itu pun lantas diasingkan secara perlahan.

Dua hari kemudian, hasil test swab keluar dan jenazah ternyata dinyatakan negatif. Lah, terus bagaimana? Gosip terus terpelihara meskipun keluarga tersebut sudah menjelaskan kalau test adalah negatif.

Pendeknya, masih banyak yang memelihara stigma bahwa terkena covid adalah aib sehingga enggan langsung test. Begitu gejala memburuk sehingga harus dilarikan ke rumah sakit, barulah heboh. Ada pula yang saat dinyatakan covid lantas berusaha semaksimal mungkin menutupi info tersebut kepada tetangga.

Pandemi ini seperti serangan perang untuk kita. Perang dengan tentara tak kasat mata. Melawannya tidak pakai senjata untuk membunuh atau melumpuhkan musuh, tetapi pakai senjata waspada diri agar tak turut diserang musuh. Jika menganggap covid adalah aib, maka perang ini akan semakin lama.

Photo credit: Filip Kominik on Unsplash

Abai yang Mendorong Puncak Pandemi

INI adalah sebuah catatan saat Indonesia tengah berada di puncak pandemi. Berharap ini memang benar-benar puncak dan akan terus melandai nantinya.

Saban hari, berita wafat terus berdentingan di grup whatsapp. Setiap ada kalimat innalillahi wa inna ilaihi raajiuun atau turut berduka langsung bertanya-tanya ini siapa lagi? Frekuensi berita duka itu begitu rapat. Seolah tiada hari tanpa berita duka cita. Ada saudara, teman dekat, orang yang kita hormati, dan banyak lagi menemui takdir kematiannya dengan jalan Covid-19. Di Juli 2021, Indonesia menempati posisi pertama tingkat kematian tertinggi di dunia.

Jauh lebih rapat lagi berita tentang yang dinyatakan positif terpapar Covid-19. Lebih menyesakkan dada lagi, rumah sakit penuh. Oksigen kosong. Orang-orang pada kelimpungan mencari tempat rawat. Pasien yang tengah berjuang melawan maut, harus pontang-panting mencari sekedar untuk mendapat rawatan. Tak peduli lagi kelas kamar, di rawat di gudang rumah sakit juga tidak apa-apa padahal sebelumnya selalu berlangganan kamar VIP jika pun harus masuk rumah sakit.

Saya mendengar sendiri dari para dokter dan pihak manajemen rumah sakit yang sudah merasa tak berdaya. Menyaksikan pasien membiru dengan sendirinya karena cadangan oksigen sudah tidak ada. Keluarganya sendiri pun tak mampu ia bantu. Semua kamar dan tempat tidur perawatan full capacity.

Raung-raungan ambulans tak henti dan seperti tak mengenal waktu. Makam khusus covid juga penuh dengan antrian panjang dan jadwal pemakaman 24 jam. Situasi ini benar-benar menggila.

Belum lagi sendi-sendi ekonomi yang mulai keropos. Sebagian tak kuat menyangga bisnisnya untuk tetap berdiri dan terpaksa harus harakiri. Para pencari kerja mulai kehabisan harapan karena pintu PHK sedang tinggi-tingginya. Mereka yang keluar dari pintu PHK itu juga perlu mata pencaharian.

Tiba-tiba teringat lagi setahun lalu. Ketika berita pandemi mulai menyeruak. Para pejabat yang punya wewenang itu tampil di televisi sambil cengengesan dengan mimik santai. Saya sudah siapkan kutipan-kutipan bernada remeh dari mereka. Tadinya mau ditempelkan di sini, tapi saya hapus kembali. Terlalu gemes mengenang sikap sepele itu.

Teringat lagi film seri Chernobyl yang diproduksi oleh HBO tentang tragedi kebocoran pembangkit nuklir di Uni Soviet. Pelajaran paling penting dari film Chernobyl adalah bencana pembangkit nuklir tersebut tidak akan separah itu jika para pengambil keputusan tidak ignorance.

Yang berlalu memang biarlah berlalu. Tetapi sejarah buruk janganlah diulang kembali. Pandemi ini mengajarkan kepada kita bahwa tragedi itu hanya sekedar cerita, kecuali jika ia datang menghampiri kita. Pelajaran penting lainnya, kita memang tak boleh panik tapi juga jangan menjadi orang yang ignorance terhadap sebuah peristiwa. Waspada adalah sikap pertengahan yang harus sejak awal jadi standar menghadapi ancaman.

Sumber foto: jabar.inews.id